26.7.25

Jenny, Seni, dan Api: Setelah 120 (Menit)

Semalam, di panggung Artjog, semuanya muntir (gemetar). Ditabrak keras oleh The Skit, diseret jauh oleh Gading Narendra Paksi, dan ditutup dengan guyuran lagu Hymne kampus ISI Yogyakarta. Lalu, Jenny muncul. Tidak ada dokumentasi, tidak ada foto. Hanya ingatan yang terpental-pental, menyala-nyala. Sambil bekerja untuk Cherrypop, saya menyusup-nyusup dalam kerumunan, menyimak lolongan penonton yang berdesakan. Untung ada jeda setiap beberapa lagu. Saat Kuliah Kapita Selekta Mas Bobby dari Kedai Buku Jenny Makassar dan Orasi Skena dari Mas Arsita Pinandita bicara, saya merasa ruang itu meregang sedikit. Tapi justru di situ, saya makin runtuh. Runtuh karena Kedai Buku Jenny di Makassar.

Jenny malam itu tidak sekadar tampil. Mereka hadir sebagai interupsi. Satu set berisi 10+2 membelah pikiran, mengacaukan arah. Tidak banyak band yang memilih hanya tampil dua kali setahun, dan ketika akhirnya mereka naik panggung, setiap kemunculan berubah menjadi semacam ritual kolektif. Yang tertinggal bukan hanya gema musiknya, tapi juga sesuatu yang mengendap lebih lama: bagaimana mungkin sebuah band asal Yogyakarta bisa menyalakan api sampai jauh ke Makassar?

Kedai Buku Jenny (KBJ) bukan sekadar toko. Ia adalah rumah literasi, perpustakaan komunitas, toko rilisan fisik, dan penerbit buku independen. Tapi lebih dalam lagi, KBJ adalah bukti bahwa musik bisa menjalar ke ruang-ruang yang tak disangka. Jenny, lewat lirik, sikap, dan panggung-panggungnya, telah memantik sesuatu yang hidup. Sebuah ekosistem. Ketika Mas Bobby bercerita tentang KBJ, saya merasa ditarik ke dalam kobaran yang belum padam dan sengaja untuk terbakar. Sesuatu yang lebih dari sekadar musik, ini tentang bagaimana sebuah suara bisa menggerakkan banyak tubuh untuk berpikir, bergerak, dan membentuk ruang bersama.

Bagi saya, seperti juga banyak teman (mungkin) yang mengikuti Farid Stevy, kata-kata adalah ledakan yang ditunggu. Kalimat-kalimatnya, yang muncul seperti keonaran terencana, menjadi ledakan kecil yang mengguncang. Dan semalam, ledakan itu terasa satu per satu. Tepat. Tegas. Terarah.

Sehari sebelum konser, saya rapat di On The Pop untuk persiapan hari H. Antrian mengular sejak pagi di depan store kecil itu. Merch Jenny hasil kolaborasi dengan The Skit langsung diburu. Sore menjelang pertunjukan, antrian kembali panjang, kali ini untuk sesi tanda tangan. Semua rilisan (vinyl, kaset, CD, plat dan kaos putih dengan desain lembar pengesahan skripsi itu, disahkan secara simbolik oleh 4 personil Jenny (Farid, Robby, Anis, Arjuna). Dan itu terjadi di Yogyakarta, kota yang setiap jalannya masih dipenuhi mahasiswa. Desain kaos itu terasa seperti sindiran, tapi juga pelukan. Mengerjai sistem, tapi sambil memeluk kekonyolannya.

Jenny lahir dari ruang yang tidak betul-betul lapang. Mereka butuh ruangan lain selain dari fakultas seni rupa ISI Yogyakarta, yang dulu dikenal sebagai Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). ASRI sendiri berdiri pada 15 Januari 1950, sebagai institusi seni pertama pascakemerdekaan. Di ruang itu, seniman-seniman seperti Hendra Gunawan, Trubus Soedarsono, dan Abdul Salam mengajar dengan semangat nasionalisme dan kebudayaan lokal. Lokasi awalnya di Jalan Pekapalan, Wirobrajan, kini menjadi bagian dari kompleks Jogja National Museum (JNM). Pada 1984, ASRI melebur bersama Akademi Musik Indonesia (AMI) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) menjadi ISI Yogyakarta dan berpindah ke kampus Sewon. Tapi JNM tidak mati. Ia justru jadi ruang yang lentur dan terbuka, tempat berbagai pertunjukan kontemporer hidup dan berkembang. Di situlah, 12 Maret 2009, Jenny pernah menggelar "Showcase Manifesto". Dan 16 tahun kemudian, mereka kembali berdiri di situs yang sama. Nama yang sama. Semangat yang sama. Api yang belum padam. Dan saya yakin kita semua yang datang semalam sengaja rela nan ikhlas terbakar api itu.

Gading pernah menulis bahwa konser Jenny itu adalah Potret Sebuah Jembatan Komunitas. Dan mungkin benar. Setiap panggungnya menyampaikan sesuatu, seperti orasi dalam bentuk suara dan tubuh. Yang hadir tak sekadar menonton, tapi menyerap. Menjadi bagian dari satu momen yang tidak mudah direplikasi.

Jenny bukan sekadar band. Mereka adalah percikan yang menyulut ulang pertanyaan tentang seni, tentang bagaimana ia hidup dan beroperasi di tengah masyarakat muda. Musik mereka menjelajah ruang, bukan hanya panggung, tapi juga toko buku, ruang baca, meja kerja, hingga lemari kaos di rumah/kost. Yogyakarta memberi ruang itu. Kota yang selalu punya cara untuk menumbuhkan dengan referensi yang liar dan latar yang nyaris tak terbatas. Dari lorong-lorong ASRI hingga panggung JNM, Jenny adalah bukti bahwa seni bisa bergerak, menyala, dan menyentuh banyak hal di luar dirinya.

Sebagaimana kami di Tutbek, yang ikut terlibat dalam produksi merchandise untuk banyak band dan musisi, kami pun merasa tersengat oleh demam ini. Karena musik, kata, dan gambar bisa berpadu menjadi bentuk komunikasi yang lebih dari cukup. Dan Jenny, mengajarkannya dengan cara yang sangat, sangat dalam.

Jadi, setelah 120 menit ini: apa yang tersisa?


Link yang perlu kalian telusuri:

*Link koleksi merch musik kami bisa kalian intip-intip di sini: https://tutbekfaktori.blogspot.com/search/label/Music

Ki2
Suryodiningratan
24 Jul 2025
Setelah selesai ngedit draft 1 video semalam, 20:01 WIB