Semalam, di panggung Artjog, semuanya muntir (gemetar). Ditabrak keras oleh The Skit, diseret jauh oleh Gading Narendra Paksi, dan ditutup dengan guyuran lagu Hymne kampus ISI Yogyakarta. Lalu, Jenny muncul. Tidak ada dokumentasi, tidak ada foto. Hanya ingatan yang terpental-pental, menyala-nyala. Sambil bekerja untuk Cherrypop, saya menyusup-nyusup dalam kerumunan, menyimak lolongan penonton yang berdesakan. Untung ada jeda setiap beberapa lagu. Saat Kuliah Kapita Selekta Mas Bobby dari Kedai Buku Jenny Makassar dan Orasi Skena dari Mas Arsita Pinandita bicara, saya merasa ruang itu meregang sedikit. Tapi justru di situ, saya makin runtuh. Runtuh karena Kedai Buku Jenny di Makassar.
Jenny malam itu tidak sekadar tampil. Mereka hadir sebagai interupsi. Satu set berisi 10+2 membelah pikiran, mengacaukan arah. Tidak banyak band yang memilih hanya tampil dua kali setahun, dan ketika akhirnya mereka naik panggung, setiap kemunculan berubah menjadi semacam ritual kolektif. Yang tertinggal bukan hanya gema musiknya, tapi juga